Sudah mulai nampak muka sebenarnya dari mereka yang sangat berkepentingan untuk melanjutkan “status quo” dalam pilkada Jakarta yang baru lalu. Setelah terbukti menang 2 putaran pun masih saja, setiap ada kesempatan, Jokowi-Ahok diogrok-ogrok bahkan sebelum mereka memangku jabatannya yang baru. Orang-orang itulah yang punya kepentingan paling besar, kepentingan bisnis, kepentingan emporiumnya. Mereka ini sekarang ketakutan kalau rencana-rencana bisnisnya terhenti … karena Jokowi (begitu juga Ahok) sudah terlihat dari track-recordnya, lebih mementingkan rakyat banyak (konstituen) ketimbang kolusi segelintir pengusaha-penguasa yang tidak pernah terpuaskan (insatiable) dalam harta dan kuasa. [Coba baca lagi kasus bekas pabrik es Sari Petojo yang melibatkan gubernur Jateng Bibit Waluyo, yang mengatai-ngatai Jokowi sebagai “walikota bodoh” karena tidak menyetujui pembangunan mall mewah di lokasi bekas pabrik bersejarah tersebut.]

Nah sekarang, apa memang benar mainstream masyarakat kita itu begitu “konsumtif” nya ? Saya rasa tidak — kecuali beberapa gelintir yang mampu pergi ke mall-mall di Singapura untuk belanja kebutuhan sehari-hari (entah duitnya dari mana 🙂 atau dikit-dikit mengeluh dan berobat ke kota singa itu … Memang konsumerisme itu juga bisa diciptakan dan ditingkatkan dengan membuat ilusi semu … seolah beginilah lifestyle yang ‘modern’ maju, dsb … via brainwashing yang terus menerus melalui media maupun policy dari kolusi pengusaha-penguasa.

Coba pikir, apakah dengan tingkat pendapatan masyarakat yang sekarang, bahkan 15 tahun lagi [forget about those 2030 prediction craps … 2030 kita akan melampaui Jerman … my foot!], apakah sebagian besar penduduk jakarta/Indonesia akan bisa atau mampu menjadi konsumtif seperti yang digambarkan atau diharapkan para tycoon tersebut? Jadi sebetulnya pembangunan mall-mall atau kompleks gemerlap di Jl. Satrio itu sebetulnya untuk siapa … untuk rakyat banyak? no way; untuk elite kita .. hmmm, mereka lebu suka ke S’pore yang tidak macet, dan aman. Lalu untuk apa sesungguhnya? ya demi harta, kuasa ditambah ego pribadi semata. Anggaran dan kepentingan negara/rakyat terlalu berharga untuk pet project dan idea yang selfish semacam itu.

Jadi apakah sebenarnya yang dibutuhkan rakyat?

Terus terang saya sendiri juga nggak pasti apa itu … tadinya. Tetapi setelah melihat dan menganalisa rencana Jokowi-Ahok yang mereka namai ‘superblok’ … rumah susun 7-8 tingkat yang disewakan dengan harga murah (subsidized) kepada mereka yang membutuhkan, yang dibawahnya ada puskesmas, ruang serbaguna, dan pasar dibawahnya. Rusun “tanpa mobil” yang tidak menambah kemacetan di jalan raya; lokasi yang berada disekitar kawasan perkantoran/pekerjaan yang berarti memperpendek travel, yang memungkin Jakarta memiliki 30% ruang hijau (paru-paru kota) … saya baru sadar betapa sederhananya rencana itu, tetapi begitu brilyan — yang bisa bikin orang yang menggeluti urban sociology selama ini jadi getok kepala sendiri “why I’ve never thought about this before.”

Apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh manusia?

Ray Oldenburg, seorang urban sociologist dari Florida, menyebutnya sebagai The Third Place,

” … where people can gather, put aside the concerns of work and home, and hang out simply for the pleasures of good company and lively conversation – are the heart of a community’s social vitality and the grassroots of democracy.”
sebagai kebutuhan esensial manusia dalam sebuah komunitas. Oldenburg melontarkan istilah ini pertama kali dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, “The Great Good Place” (Paragon House, 1991); yang sepuluh tahun kemudian ditilik kembali dalam “Celebrating the Third Place: Inspiring Stories about the “Great Good Places” at the Heart of Our Communities” (Marlowe & Co, 2000). Ditengah kegalauan “modernisasi” yang membuat self-isolation (lu-elu gue-gue; pagar rapat yang mengelilingi setiap rumah), sosialisi manusia terbatas pada rumah/keluarga (The First Place) dan pekerjaan/kantor (The Second Place). Menurut Oldenburg …
“Most needed are those third places which lend a public balance to the increased privatization of home life. Third places are nothing more than informal public gathering places. The phrase ‘third places’ derives from considering our homes to be the first places in our lives, and our work places the second.”
Third place ini bisa berupa local cafe, barber shop (di Brazil sangat populer), bowling alley, atau spesifik di kota saya dulu (Madison, WI), downtown State Street atau The Terrace — halaman UW Student Union yang terletak dipinggir danau Mendota yang praktis menjadi “living room” dari penduduk kota. dll. dimana oragn pada ngumpul, kenal satu sama lain, dan tidak kenal tingkat sosial-ekonomi maupun hierarki ditempat kerja. Shopping mall tidak termasuk dalam golongan “Third Place” ini … tidak pernah ada sense of community di shopping mall. Ujar Oldenburg …
“Totally unlike Main Street, the shopping mall is populated by strangers. As people circulate about in the constant, monotonous flow of mall pedestrian traffic, their eyes do not cast about for familiar faces, for the chance of seeing one is small. That is not part of what one expects there. The reason is simple. The mall is centrally located to serve the multitudes from a number of outlying developments within its region. There is little acquaintance between these developments and not much more within them. Most of them lack focal points or core settings and, as a result, people are not widely known to one another, even in their own neighborhoods, and their neighborhood is only a minority portion of the mall’s clientele.”
Ciao,
Moko/