Archive for October, 2012

Potret Darurat Jalan Kita (Pak Moko, Si’ 70)

“Ini Bandung, bung!” … komentar seorang bonek Persib di angkot waktu ngobrol masalah kubangan/jalan di Bandung (kelihatannya beliau ini bukan asli Bandung, logatnya mirip lae RS 🙂 Dua tahun di tanahair (tercinta?) ini aku menelusuri jalan-jalan di Bandung dari dekat, secara intimate — bukan dari atas mobil, tetapi jalan kaki. Dan apa yang ditulis Mas Harun ini sebetulnya “underestimate” situasi di lapangan

Kalau aku boleh membetulkan semantiknya, bukan “darurat” yang musti dipakai, tetapi “kronis” … karena penyakit ini sudah berlangsung sangat lama. Kuamati dengan seksama sejak tahun tujuh-lima, ketika di ITB dibuka Pasca Sarjana Jalan Raya (aku angkatan pertama), i.e. 37 tahun yang lalu — dan aku yakin “kanker” dalam infrastruktur ini sudah berlangsung jauh hari sebelum itu.
Kadang aku geli, campur kasihan, kalau masih ada yang ngutak-atik segala macam upaya “managemen modern” [no offense, Harun] sebab apapun metode yang dipakai, akar dari masalahnya bukan disitu. Hanya saja orang yang justru dalam bidangnya (the-so-called professionals or experts) memilih “look the other way” … memilih diam selama (4 dekade atau lebih) — entah karena sudah merasa tak berdaya (powerless), ikutan makan, atau sekedar ketakutan kehilangan jabatan/kesempatan hidup “mapan.” Begitulah penyakit “kanker” di negeri ini –dalam topik ini, yang menyerang bidang infrastruktur– yang bisa dibilang sudah metastasis (stadium ke 4), menyebar kemana-mana dalam segala bidang.

Tahun 1995, ketika mempersiapkan seminar di Madison yang mengundang para indonesiaists dari seluruh dunia, aku ikut bantu interview seorang konsultan World Bank yang punya perhatian khusus pada pinjaman ke Indonesia. Dia bilang situasinya 30/70: sekitar 30% dana uang dikucurkan untuk infrastruktur ilang entah kemana, hanya 70% yang dipakai untuk “pembangunan” fisik. Tahun pertama kembali ke tanahair, aku “interview” (persisnya mendengarkan dongeng) teman-teman yang terlibat dalam infrastruktur (policy making, design-planning, pelaksana, etc) … weladalah, kepalaku bikin kalkulasi cepat, dan angka-angka 1995 itu kelihatannya sudah terbalik, angka-angkanya 70/30 … yang nggak jelas kemana ilangnya yang 70% itu.

Yang jelas, kata teman yang kuinterview ini, semua pada minta bagian: dari orang pemerintah/PU sendiri, lalu anggota DPR, gubernur, bupati, camat, lurah, preman kecil di jalan dan jangan lupa juga preman besar “calo” anggaran/proyek. Dan ini juga “teman-teman” kita sendiri juga. Kita yang jadi kontraktor ini nggak dapat apa-apa, pulang modal (impas) sudah termasuk mujur … lalu apa aku musti nutup kantor (gulung tikar)?

Baru saja kita “dikagetkan” oleh runtuhnya jembatan Kukar di Mahakam yang umurnya belum 10 tahun. Aku berani taruhan hasil investigasi forensik dari “musibah” ini tidak akan pernah tuntas, sehingga kita tidak akan pernah belajar dari kejadian ini … artinya, ini akan terulang kembali. Menteri PU bikin statement ini “kejadian langka” (jembatan baru 10 tahun roboh) … aha, beliau lupa (atau bagian dari kebohongan publik?) bahwa 2 tahun sebelumnya jembatan Kapuas Timpah juga roboh, bahkan sehari sebelum diresmikan! Yang menarik, tidak ada sepatah katapun dari “professionals” kita, yang kebanyakan juga temen-temen alumni cap gajah ini. Seolah ada gerakan tutup mulut massal. Conspiracy of silence.

Apa yang bisa kita lakukan? Entahlah, kalau ini kanker beneran, kalau sudah metastasis itu ya musti chemo-therapy atau radiasi total … resikonya juga besar, karena sel-sel sehat ikut ketembak. Dalam masalah sosial, therapynya sulit sekali tetapi juga masih mungnkin diharapkan. Bukan dengan pemimpin yang hebat seperti Jokowi, misalnya [please sedikit realistik, tinggalkan mitos Ratu Adil], tetapi perubahan way of life dan attitude dari kita semua –everyone of us– terhadap kejahatan publik. Tidak terlalu berlebihan kalau dibilang bahwa kita itu “permissive” kepada kejahatan publik … dari yang kecil sampai yang besar (bisa kita lihat di pemilu IA kemarin :-). Dan seperti ujar-ujar lama, ‘alah bisa kar’na biasa, kita punya seribusatu jurus pembenaran pada pa-apa yang seharusnya tidak bisa dibenarkan: tanpa angpau (uang semir) ekonomi tidak akan jalan, tanpa korupsi pembangunan berhenti, etc. Apa iya?

Akankah kita satu saat berubah menjadi bangsa modern? Bangsa atau masyarakat yang bisa menerapkan managemen modern (yang salah satu manifestasinya adalah tidak ada lagi jalan kubangan)? Aku tidak bisa menjawab itu, karena ini merupakan collective effort dari 241 juta manusia, hanya kita semualah, bersama-sama, yang bisa merealisasikannya. Kalau “business as usual” seperti yang kita lakukan selama ini, aku kuatir kita tidak akan bertahan lebih dari satu generasi lagi [the result of my model –complex system– indicates that], jadi seperti kepada pasien kanker stadium 4, aku hanya bisa menganjurkan berdoa banyak-banyak saja, dan baik-baik sama tetangga … siapa tahu?

Toro sang “Pemberani”

Hari ini entah kenapa saya sedang on-fire untuk menulis. kali ini saya punya cerita tentang adek kelas saya yang sekantor dengan saya bernama Toro. Nama aslinya sihhh Anggi Yugantoro, ntah apa yang dipikiran ibunya saat memberikan nama? atau mungkin yang salah adalah pegawai kecamatan yang salah ketik, mungkin dulu ibunya pengan nama Angga tapi si pegawai kecamatan keseleo hingga tertulis nama Anggi. atau yang lebih harus dipersalahkan lagi adalah mesin tik nya. tapi gpp lahh, nama anggi sudah jadi miliknya anggi, jadi jangan urusi namanya lagi.

Dia satu tahun di bawah saya, dan sekarang bekerja satu kantor dengan ku di PAU lt2 ruangan geoteknik. faktanya gedung PAU itu gedung yang angker, mau dihuni ama 100 orang ajah masih terasa sepi. okelah terlepas dari angkernya si gedung ada baiknya kita mengenal watak si toro ini. jujur saja dan tidak ingin menutup-nutupi, bahwa toro itu “penakut”. ama cicak yang lepasin ekor nya ajah udah bikin dia diare, apalagi klo dikasih anak kecil tanpa baju dan botak yang bisa lari-lari di dalem kantor kayaknya sudah hepatitis B dehh.. 

sebelum saya bercerita, saya ingin mengklarifikasi kalau aku tidak pernah berniat jail ama orang lain. balik ke menu utama cerita ini, suatu hari di hari sabtu saya janjian ama Toro untuk datang ke PAU. dikarenakan aku ada acara futsal dulu sekitar jam 10 sampe jam 12, maka kemungkinan saya akan sampe ke PAU jam 1 siang. datanglah saya ke PAU, udah feeling bahwa si Toro sudah berada didalamnya maka datenglah ide untuk menakut-nakuti nya. ingin saya tegaskan lagi bahwa aku gak pernak berniat untuk jail, tapi ide itu muncul sepintas jadi bukan atas dasar niat, tapi atas dasar kesadaran sendiri. karena pintu ruangan kita terbuat dari bahan ajaib, maka kalo kita buka pintunya maka setelah dilepas akan menutup kembali dengan efek suara “jelegerrrr”. maka saya buka pintunya dan lalu saya lepas, kemudian saya coba untuk lari dan sembunyi di belakang kolom gedung PAU yang terhitung sangat besar. maka beberapa menit kemudian muncullah si toro keluar dan melihat ke kiri dan ke kanan, lalu masuklah kembali si toro ini ke dalam. saya gak liat mimik mukanya si toro tapi rasanya aku membayangkan klo mukanya udah setengah ketakutan dan aku ingin sekali diperasaannya bahwa yang melakukan itu adalah hantu. lalu setelah sepi kembali saya coba buka pintu lagi dan lalu saya lepas dan saya lari ke WC. saya diamkan sekitar 10 menit. ntah apa yang terjadi di ruangan sana, tapi saya berharap ada kegelisahan menyelimuti si toro. karena saya pun capek menunggu di wc dan saya rasa tidak ada manfaatnya juga saya coba masuk ruangan dengan muka standar dan datar. lalu masuklah aku ke dalam ruangan dan menemukan toro yang sedang bersiap-siap untuk pulang. ohh Toro, sungguh ruangan ini butuh hiburan dan aku ini haus akan hiburan.

dandan si supir

lagi-lagi ingin cerita tentang temanku satu ini. memang terlalu unik teman ku yang satu ini. Jika anda pertama kali melihat-nya mungkin dalam bayangan anda akan terpintas kernet angkot, atau tukang jual ketan bakar di lembang, hehehehehehhe maaf Dan. Tapi aku yakin itu, dari sikapnya yang sangat sederhana dan tidak mencerminkan intelektual seorang mahasiswa membuat dirinya begitu otentik. Kadang kita selalu menganggap orang itu dari cara berpakaianna (judge book by its cover), terkadang juga kita salah menafsirkan kekayaan hati yang ada didalam nya (and please don’t judge a book by its cover). dandan ini meskipun sangat sederhana dari segi bahasa yang tidak ingin menunjukkan dirinya pintar, dia memberikan keramahan yang luar biasa (saya rasa idungnya akan terbang jika membaca bagian ini).

Well paragraf di atas saya coba masukkan sebagai cara biar post ini terlihat panjang dan bukan berniat memuji si dandan. Disini saya ditugaskan oleh hati saya sendiri untuk menceritakan kisah dandan berikut.

kisah ini dimulai ketika dandan pergi ke kampus dari rumahnya dengan menggunakan kol buntung (pick up) yang berisikan banyak barang, dengan tidak memikirkan dampak kedepan akibat menggunakan mobil tersebut maka dandan dengan tenangnya menyetir ke arah parkiran sipil ITB. sebenernya mesti di akui bahwa muka dandan ini sangatlah klasik, disebut umur 26 tahun pun semua orang gak akan percaya. kalo dia bilang umur 35 tahun ajah, saya yakin 80 koresponden akan menjawab “percaya”. Okeh, intinya adalah muka dandan itu “boros”, wkwkwkkwkwkw. tibalah dandan di parkiran sipil dan dengan tenangnya memasukkan mobil ke dalam parkiran. tiba-tiba datanglah seorang penjaga dan mendatangi dandan sebelum mengambil kartu parkir.

“Mau ke mana pak?”, tanya si tukang parkir

“Mau ke dalem”, jawab dandan dengan percaya dirinya ditambah senyuman yang khas yang menunjukkan gigi2 depannya

“ohhh, klo bapak mau anter barang mahh, lewat gerbang depan ajah”, perintah si tukang parkir. disini tanpa disadari bahwa si dandan dianggap tukang sopir yang sedang mengantar barang.

“Ohh, gpp pak saya mau daftar S2, saya parkir disini saja”, jawab dandan dengan sedikit ketus karena merasa tersindir. perlu ada catatan bahwa si dandan sebenernya gak pernah ketus karena setiap bicara satu kata ajah ada efek ketawa nya..

Ya Alloh, jagalah selalu temanku yang satu ini sehingga selalu dalam lindungan-Mu.

 

2012, October 9th

di PAU berdua dengan josua