“Ini Bandung, bung!” … komentar seorang bonek Persib di angkot waktu ngobrol masalah kubangan/jalan di Bandung (kelihatannya beliau ini bukan asli Bandung, logatnya mirip lae RS 🙂 Dua tahun di tanahair (tercinta?) ini aku menelusuri jalan-jalan di Bandung dari dekat, secara intimate — bukan dari atas mobil, tetapi jalan kaki. Dan apa yang ditulis Mas Harun ini sebetulnya “underestimate” situasi di lapangan

Kalau aku boleh membetulkan semantiknya, bukan “darurat” yang musti dipakai, tetapi “kronis” … karena penyakit ini sudah berlangsung sangat lama. Kuamati dengan seksama sejak tahun tujuh-lima, ketika di ITB dibuka Pasca Sarjana Jalan Raya (aku angkatan pertama), i.e. 37 tahun yang lalu — dan aku yakin “kanker” dalam infrastruktur ini sudah berlangsung jauh hari sebelum itu.
Kadang aku geli, campur kasihan, kalau masih ada yang ngutak-atik segala macam upaya “managemen modern” [no offense, Harun] sebab apapun metode yang dipakai, akar dari masalahnya bukan disitu. Hanya saja orang yang justru dalam bidangnya (the-so-called professionals or experts) memilih “look the other way” … memilih diam selama (4 dekade atau lebih) — entah karena sudah merasa tak berdaya (powerless), ikutan makan, atau sekedar ketakutan kehilangan jabatan/kesempatan hidup “mapan.” Begitulah penyakit “kanker” di negeri ini –dalam topik ini, yang menyerang bidang infrastruktur– yang bisa dibilang sudah metastasis (stadium ke 4), menyebar kemana-mana dalam segala bidang.

Tahun 1995, ketika mempersiapkan seminar di Madison yang mengundang para indonesiaists dari seluruh dunia, aku ikut bantu interview seorang konsultan World Bank yang punya perhatian khusus pada pinjaman ke Indonesia. Dia bilang situasinya 30/70: sekitar 30% dana uang dikucurkan untuk infrastruktur ilang entah kemana, hanya 70% yang dipakai untuk “pembangunan” fisik. Tahun pertama kembali ke tanahair, aku “interview” (persisnya mendengarkan dongeng) teman-teman yang terlibat dalam infrastruktur (policy making, design-planning, pelaksana, etc) … weladalah, kepalaku bikin kalkulasi cepat, dan angka-angka 1995 itu kelihatannya sudah terbalik, angka-angkanya 70/30 … yang nggak jelas kemana ilangnya yang 70% itu.

Yang jelas, kata teman yang kuinterview ini, semua pada minta bagian: dari orang pemerintah/PU sendiri, lalu anggota DPR, gubernur, bupati, camat, lurah, preman kecil di jalan dan jangan lupa juga preman besar “calo” anggaran/proyek. Dan ini juga “teman-teman” kita sendiri juga. Kita yang jadi kontraktor ini nggak dapat apa-apa, pulang modal (impas) sudah termasuk mujur … lalu apa aku musti nutup kantor (gulung tikar)?

Baru saja kita “dikagetkan” oleh runtuhnya jembatan Kukar di Mahakam yang umurnya belum 10 tahun. Aku berani taruhan hasil investigasi forensik dari “musibah” ini tidak akan pernah tuntas, sehingga kita tidak akan pernah belajar dari kejadian ini … artinya, ini akan terulang kembali. Menteri PU bikin statement ini “kejadian langka” (jembatan baru 10 tahun roboh) … aha, beliau lupa (atau bagian dari kebohongan publik?) bahwa 2 tahun sebelumnya jembatan Kapuas Timpah juga roboh, bahkan sehari sebelum diresmikan! Yang menarik, tidak ada sepatah katapun dari “professionals” kita, yang kebanyakan juga temen-temen alumni cap gajah ini. Seolah ada gerakan tutup mulut massal. Conspiracy of silence.

Apa yang bisa kita lakukan? Entahlah, kalau ini kanker beneran, kalau sudah metastasis itu ya musti chemo-therapy atau radiasi total … resikonya juga besar, karena sel-sel sehat ikut ketembak. Dalam masalah sosial, therapynya sulit sekali tetapi juga masih mungnkin diharapkan. Bukan dengan pemimpin yang hebat seperti Jokowi, misalnya [please sedikit realistik, tinggalkan mitos Ratu Adil], tetapi perubahan way of life dan attitude dari kita semua –everyone of us– terhadap kejahatan publik. Tidak terlalu berlebihan kalau dibilang bahwa kita itu “permissive” kepada kejahatan publik … dari yang kecil sampai yang besar (bisa kita lihat di pemilu IA kemarin :-). Dan seperti ujar-ujar lama, ‘alah bisa kar’na biasa, kita punya seribusatu jurus pembenaran pada pa-apa yang seharusnya tidak bisa dibenarkan: tanpa angpau (uang semir) ekonomi tidak akan jalan, tanpa korupsi pembangunan berhenti, etc. Apa iya?

Akankah kita satu saat berubah menjadi bangsa modern? Bangsa atau masyarakat yang bisa menerapkan managemen modern (yang salah satu manifestasinya adalah tidak ada lagi jalan kubangan)? Aku tidak bisa menjawab itu, karena ini merupakan collective effort dari 241 juta manusia, hanya kita semualah, bersama-sama, yang bisa merealisasikannya. Kalau “business as usual” seperti yang kita lakukan selama ini, aku kuatir kita tidak akan bertahan lebih dari satu generasi lagi [the result of my model –complex system– indicates that], jadi seperti kepada pasien kanker stadium 4, aku hanya bisa menganjurkan berdoa banyak-banyak saja, dan baik-baik sama tetangga … siapa tahu?